Buku biografi yang menceritakan
tentang kehidupan presiden kedua Republik Indonesia ini ditulis oleh Retnowati
Abdulgani – KNAPP, anak dari Dr. H. Roeslan Abdulgani yang bersahabat dengan
alm. Soeharto. Hubungan ini membuat Retno berkesempatan untuk menulis buku ini.
Soeharto
adalah seorang anak tunggal dari pasangan Kertosudiro (ayah) dan Sukirah (ibu).
Soeharto lahir di Kemusuk, Yogyakarta pada 8 Juni 1921 dan diberi nama “Soeharto”
oleh bapaknya yang berarti lebih baik kekayaan. Dengan nama ini diharapkan
Soeharto dapat menjadi orang yang kaya dan berkedudukan tinggi. Ayah Soeharto
adalah seorang petugas irigasi desa dan waktunya banyak dihabiskan dengan
berjudi dan merokok. Hobinya ini tentu butuh biaya besar, sampai-sampai Sukirah
harus menjual perhiasannya dengan terpaksa. Lama kelamaan Sukirah frustasi
karena tidak tahan dengan kelakuan suaminya, lalu ia minta cerai. Karena
perkawinan kedua orangtuanya yang tidak langgeng ini, maka bayi Soeharto
diserahkan kepada Mbah Kromodiryo (bidan sekaligus adik perempuan nenek
Soeharto dari pihak ayah) saat berusia 40 hari untuk diurus oleh neneknya itu,
sampai berumur sekitar 4 tahun. Setelah itu Soeharto diambil oleh ibunya lalu tinggal
bersama ibunya yang telah menikah lagi dengan Atmopawiro dan memiliki tujuh orang anak. Atmopawiro
sangat menyayangi Soeharto meskipun Sopeharto hanya anak tirinya. Saat berumur
delapan tahun, Soeharto dibawa oleh ayahnya untuk tinggal di rumah adik perempuan
ayahnya. Ibu Prawirowihardjo, adalah nama dari adik perempuan ayahnya itu. Ibu
Prawirowihardjo ini tinggal di Wuryantoro, tempat yang sudah lebih makmur
dibandingkan Kemusuk. Prawirowihardjo adalah seorang mantri tani, disinilah
Soeharto memahami budaya pertanian dan belajar banyak dari kehidupan bertani
beserta para petaninya. Pelajaran yang ia dapatkan bersama keluarga
Prawirowihardjo ini turut membentuk prinsipnya dalam cara ia memimpin dan
berkuasa di masa mendatang saat ia menjadi pemimpin dan seorang presiden.
Karir
militer Soeharto diawali saat ia bergabung dengan Angkatan Perang Belanda
(KNIL) pada 1 Juni 1940. Pendidikan militer dirasa menarik oleh Soeharto dan
ketidakpastian hidup masa kecilnya
membuat ia menghargai disiplin keras serta seluruh
keteraturan di militer. Disinilah kualitas kepemimpinan Soeharto diasah.
Soeharto lulus sebagai kadet terbaik diangkatannya, lalu dikirim ke Batalyon
XIII di Malang, dan pada 2 Desember 1940 ia memperoleh pangkat kopral. Pada 10
November 1945 Soeharto memimpin batalyon X untuk menyerang kedudukan sekutu di
Ambarawa dan Banyubiru. Saat itu pangkatnya sudah Komandan Resimen III. Empat
tahun kemudian, yaitu pada Januari 1962 Soeharto dipromosikan menjadi mayor.
Sekitar Jnuari 1946 Soeharto diangkat menjadi Letnan Kolonel TNI-AD. Pada 9
Januari 1962 Soeharto dipromosikan sebagai Mayor Jendral dan sekaligus diangkat
sebagai Panglima Komando Mandala
Pembebasan Irian Barat. Karir Soeharto terus menanjak, sampai pada 27 Maret
1968 Soeharto disumpah menjadi Presiden penuh, Presiden Negara Republik
Indonesia kedua. Presiden Indonesia yang kedua ini menjabat hampir selama tujuh
periode dan berjaya di 6 periode sebelum akhirnya harus lengser pada 21 Mei
1998 dikarenakan gejolak-gejolak yang hadir di Negara dan krisis ekonomi yang
bercampur bersama sejumlah aksi masyarakat yang menuntut penurunan Pak Harto.
Setelah turunnya Soeharto maka kepemimpinan Indonesia beralih kepada presiden
B. J. Habibie.
Sementara
itu untuk urusan kehidupan pribadinya, Soeharto memiliki seorang istri bernama
Siti Hartinah yang dikenal dengan Ibu Tien. Awalnya sempat ada keraguan pada
diri Soeharto untuk dapat meminang Hartinah, wanita yang dicintainya. Ini dikarenakan
Hartinah berasal dari keluarga ningrat sementara Soeharto hanya orang biasa.
Sampai ketika ayah angkatnya, Prawirowihardjo datang mengunjungi Soeharto dan
bertanya tentang masa depan kehidupan pribadi Soeharto, Soeharto mengutarakan
keinginannya untuk meminang Harninah kepada ayah angkatnya itu. Tetapi ia juga
mengutarakan keraguannya untuk menyatakan perasaan tersebut karena perbedaan
status sosial mereka. Mendengar hal tersebut maka ayah dan ibu angkat Soeharto
ini pun langsung meyakinkan Soeharto bahwa mereka bisa membantu. Maka pada 26
Desember 1947 menikahlah Soehato dengan Siti Hartinah di Solo. Dari
perkawinannya ini mereka dikaruniai 6 orang anak, yaitu Tutut, Sigit, Bambang,
Titiek, Mamiek, dan Tommy – Soeharto. Saat masih berpenghasilan pas-pasan, Ibu
Tien menanam sayur-sayuran di halaman belakang rumah mereka untuk menambah
penghasilan. Sementara itu untuk mendukung karier suaminya ia mendirikan dan
sekaligus menjadi ketua dari Ikatan Kesejahteraan Keluarga Hankam.
Soeharto
sendiri selalu mendukung keinginan amal yang besar dari Ibu Tien. Di kemudian
hari Ibu Tien dikenal sebagai pemrakarsa Taman Mini Indonesia Indah ( TMII )
dan Yayasan Harapan Kita. Dengan setia Ibu Tien menemani hari-hari Soeharto.
Jatuh bangun, susah senang, semua dilaluinya dengan setia disamping Soeharto.
Hingga pada tahun 1996 Ibu Tien meninggal. Duka Soeharto terasa sampai ke
seluruh penjuru negeri. Yang paling memilukan adalah karena tak lama setelah
kepergian Ibu Tien, Soeharto tak lagi dapat mempertahankan kekuasaannya.
Hari-hari
Soeharto setelah meninggalkan jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia
diisi dengan banyak sekali kiriman surat. Surat-surat itu kebanyakan berisi
simpati dan penghargaan terhadap Soeharto. Surat-surat tersebut dikirim dari
seluruh lapisan masyarakat hingga terkumpul
banyak sekali. Nah, saking banyaknya surat untuk Soeharto
itu, maka Tutut, putri Soeharto, mengumpulkan semua surat-suratnya dan
menerbitkannya dalam sueah buku.
Kontroversi
seputar dosa-dosa yang dilakukan Soeharto selama masa pemerintahannya memang
bukan lagi rahasia. Masyarakat menuntut agar Soeharto diadili atas tanggung
jawab tentang proyek-proyek pembangunan angan-angan B. J. Habibie yang dianggap
beberapa diantaranya tidak diperlukan. Lalu ia dipersalahkan atas praktik tanpa
pembedaan terhadap dompet pribadi dan dompet Negara, koneksi-koneksi yang
dilakukannya dengan orang-orang penting, serta jutaan dolar yang diperoleh
keluarganya dari uang-uang pelicin pinjaman luar negeri untuk membangun bisnis
keluarganya. Ya, memang itu benar dan untuk itu sejak November 1998 Majelis
Permusyawaratan Rakyat telah mengajukan penyelidikan harta kekayaan Soeharto.
Beliau juga menjalani berbagai macam siding dan pemeriksaan. Tak sedikit dari
prosesi itu yang dijalaninya dalam keadaan sakit. Kaerna seiring dengan
pertambahan usianya, kondisi kesehatannya pun memburuk. Berbagai penyakit
seperti stroke, jantung, usus buntu, dll menggerogoti tubuhnya. Bolak-balik
operasi dan rawat inap telah dijalaninya. Kemampuan otaknya pun sudah menurun
drastis, sehingga untuk beberapa urusan hukum Soeharto agak kesulitan
melaluinya karena menurunnya kemampuan Soeharto
untuk mengerti maksud dari penyidik dan sudah hilangnya beberapa
memorinya. Kondisi kesehatannya terus menurun, sampai pada 27 Januari 2008,
sekitar pukul 13.00 WIB, Soeharto menghembuskan napas terakhirnya di Rumah
Sakit Pusat Pertamina, Jakarta.
Dari
semua yang telah dilakukan Soeharto semasa hidupnya, di masa kepemimpinannya
memang banyak kesalahan-kesalahan yang beliau lakukan. Yang imbasnya bahkan
masih harus kita tanggung hingga saat ini. Tetapi tidak dapat kita pungkiri
juga bahwa Soeharto telah berjasa besar dalam membangun Indonesia ini sehingga
bisa seperti sekarang.
0 comments:
Posting Komentar